Lombok yang memiliki hutan-hutan perawan jauh dari perambahan, seperti hutan di Sumatera, Kalimantan , sampai kini terjaga bahkan kota Mataram yang merupakan Ibukota Provinsi Lombok itu terlihat rimbun oleh pohon-pohon besar mengelilingi kota . Meski sedikit mengalami pergeseran ke bangunan gedung namun tidak menghilangkan kesejukan dan natural. Di setiap rumah masih memiliki halaman yang cukup luas bahkan terlihat rindang seakan-akan kita berada dipedesaan.
Mataram merupakan kota pemerintahan Provinsi namun keramaian, kebisingan bahkan kemacetan hampir tidak pernah terjadi. Bagaikan sebuah kota Kecamatan di Pulau Jawa bahkan di Sumatera Utara. Begitulah kesan kampung dari ibukota Provinsi Seribu Masjid tersebut.
Mataram yang dikenal dengan Pantai Senggigi dan Pantai Kuta Lombok dan Pulau Trawangan bahkan banyak pelancong menyatakan kalau Pantai Kuta Bali masih kalah indahnya dengan Pantai Kuta Lombok Tengah. Dimana butiran pasir Kuta Lombok memiliki kekasaran putih jauh lebih indah dari Pantai Kuta Bali.
Dua wartawan Waspada, Muhammad Faisal dan Hasriwal AS , yang melakukan wisata kagetan (tanpa rencana), terbang dari Bandara Soekarno Hatta pukul 18.45 WIB. Penerbangan dari Jakarta ke Mataram sama dengan ke Medan dengan waktu tempuh dua jam, namun karena Waktu Indonesia bagian Tengah (WIT) di Mataram yang lebih dahulu maju satu jam dari WIB maka kami tiba pukul 21.50.
Tibanya di Bandara Selaparang kami di jemput seorang sahabat lama Erfan Irianto yang dulunya tinggal di kota Medan . Dari bandara kami mengendarai mobil Mas Fan (begitu kami menyebut Erfan Irianto yang sejak berada di Medan dan sampai menikah dengan gadis Medan Musmaina dan memiliki dua putri dan seorang putra sudah kami anggap sebagai abang) membawa kami ke kediamannya di daerah Rumbige yang hanya berjarak 1 kilometer dari bandara.
Setibanya kami di rumah tua yang penuh nuansa natural dan dirimbunan berbagai bunga adan tanaman keras itu disambut Kakak Musmaina dan ketiga anaknya Ajeng, Dita dan Dimas. Sejenak kami beristirahat satu jam dengan disuguhi minuman teh manis hangat menambah semangat untuk menelusuri keindahan malam Pantai Senggigi.
Malam itu pukul 23 WIT, kami memulai aksi perjalanan pertama dengan mencari tempat-tempat hiburan di pantai Senggigi yang banyak menyajikan live musik diberbagai café yang aneka ragam aliran musik, dari pop, jazz, rangge bahkan dangdut.
Kami mampir di Café Hapy yang menyajikan musik-musik ranggae tahun 80-an yang menempuh waktu perjalanan lima belas menit atau berkisar 7 kilometer dari kota Mataram.
Setelah puas menikmati lagu-lagu zona 80-an yang diselingi lagu Indonesia itu kami beranjak pulang pukul 01.00. Pada jam 01.00 dinihari itu seluruh café diharuskan menyudahi hiburan, baiknya larangan tersebut sangat dipatuhi hingga semua kegiatan malam pun berakhir.
Gili Trawangan
Keesokan harinya, Kamis (6/3), kami berangkat menuju Pulau Gili Trawangan yang merupakan ‘Pulau Seribu Nikmat Tanpa Polusi’ yang sebelumnya kami menikmati kota Mataram sambil makan siang disalah satu rumah makan yang menyajikan berbagai jenis makanan khas Lombok .
Setelah menikmati makan siang, pukul 14.00 dengan diantar Teddy salah seorang adik Mas Fan, kami berangkat menuju Pelabuhan Bangsal untuk menyeberang ke Pulau Trawangan. Dari kota Matram ke Pelabuhan Bangsal hanya menempuh waktu 30 menit dengan jarak sekitar 35 kilometer. Dalam perjalan ke Pelabuhan Bangsal, kami melalui arak-arakan ‘ogok-ogok’ dimana pada hari itu merupakan Hari Raya Nyepi (Tahun Baru Caka 1930) yang tengah dirayakan umat Hindu yang tinggal di Kota Mataram.
Setelah meleawati ‘ogok-ogok’, kami terus mendaki melalui jalur pantai Senggigi kemudian mendaki ke jalur Pusuk Wisata yang rimbun dengan hutan-hutan perawan. Di jalur Pusuk Wisata, kita bisa menyaksikan kera-kera bercengkerama di kiri kanan jalan.
Banyaknya habitat kera yang terus terjaga, membuat kenaturalan alam Lombok menuju Pelabuhan Bangsal semakin mengasyikan perjalanan.
Tiba di Pelabuhan Bangsal yang terletak dibagian Utara, kami naik kapal boat nelayan dengan membayar Rp8 ribu perorang untuk sampai di Pulau Gili Trawangan.
Jarak tenempuh Pelabuhan Bangsal ke Pulau Gili Trawangan hanya memerlukan waktu 20 menit.
Keindahan laut pun dapat dinikmati dalam penyeberangan, untuk sampai ke Pulau Gili Trawangan, kami melintasi dua pulau kecil lainnya yakni Pulau Gili Air dan Gili Meno. Dimana kedua pulau tersebut juga merupakan tempat wisata namun para pelancong pada umumnya memilih tujuan ke Pulau Gili Trawangan.
Setibanya di Pualu Gili Trawangan, penduduk asli Pulau tersebut menawarkan jasa Cidomo untuk mengitari pantai. Cidomo (sama halnya dengan andong atau delman) berasal dari suku kata Cikar – Dokar – Motor. Kata Cikar (yang berarti tempat duduk), Dokar (adalah kuda) dan motor (pada bagian ban yang menggunakan ban motor).
Di Pulau Gili Trawangan ini, tidak satupu kenderaan ditemui selain Cidomo dan sepeda. Patutlah Pulau tersebut disebut Pulau tanpa polusi.
Para turis hanya menggunakan jasa angkutan Cidomo atau menyewa sepeda dengan harga Rp 35.000 per hari untuk berkeliling menelusuri tepi pantai.
Selain keunikan pantai Gili Trawangan, dimana kebanyaka turis asal Australia, Jepang, Thailand, India, dan China berjemur di pantai Selatan pada pagi sampai terbenamnya matahari sama sekali tidak menggunakan sehelai pakaian (berbugil ria).
Selain bebas berjemur tanpa busana, pulau ini juga bebas narkoba yang kebanyakan para turis memakai atau menghisap daun ganja.Lebih anehnya lagi, ketidak sebandingan antara penduduk asli yang hanya ada berskisar 50 jiwa itu jauh dengan jumlah para pelancong sebanyak 700 sampai 800 orang. Bahkan nyaris hampir tidak ada turis domestik.
Kami berdua menjadi perhatian besar para penduiduk asli, karena sangat jarang sekali turis lokal yang menginap di pulau tanpa polusi itu. Di Pulau tersebut hanya ada dua masjid yakni Masjid Isti Kamil yang terletak di Pantai Selatan dan Masjid Istiqomah di bagian Utara. Kedua Masjid tersebut dibangun sejak Tahun 1951.
Sore itu kami berdua berkecimpung di laut (berenang) di pantai Selatan, tak terasa azan magrib mengumandang. Kamipun bergegas menyudahi mandi di laut, kemudian kami menuju masjid Isti kamil untuk shalata Magrib berjamaah. Tidak banyak jamaah, hanya dua saaf.
Sekali lagi, kami berdua kembali menjadi perhatian para pendduk asli yang ketika itu melaksanakan shalat magrib. Karena sangat jarang sekali para turis lokal yang bermalam dan menyempatkan diri shalat ke masjid pulau Gili Trawangan.
Sedangkan untuk menginap satu malam harga satu kamar cottage dan bungalow maupun stay home, harganya variasi mulai dari Rp50 ribu sampai Rp700 ribu permalam.
Pulau Gili Trawangan itu banyak diminati turis, karena kita dapat menikmati keindahan wahana baah laut (taman laut), air membiru menembus pandang hingga ke dasar laut.
Keesokan harinya, Jumat (7/3), kami kembali menyeberang menuju Lombok dan pukul 1130 WIB, kami sudah berada di Kota Mataram dan langsung melaksanakan Shalat Jumat di Masjid lingkungan Bandara Selaparang.
Usai shalat Jumat kami mencari penginapan di salah satu hotel berbintang di pantai Senggigi. Sambil makan siang, di hotel kami menikmati panorama sore di pantai hotel yang merupakan gharis pantai Senggigi.
Kami sempat bertemu seorang penduduk asli Lombok bernama Abdul Wahab, yang berprofesi sebagai nelayan.
Wahab begitu dia dipanggil (maaf tidak sama dengan Wahab Dalimunthe) yang saat ini maju sebagai caleg, apalagi soal nasibnya tentulah sangat jauh berbeda. Dimana Wahab Lombok hanya berpenghasilan Rp25 ribu sampai Rp35 ribu dari hasil menangkap ikan di laut.
Namun ada sedikit yang membuat kami berdua, kesamaan Wahab Lombok dengan Wahab Dalimunthe yakni sama-sama memiliki bakat pemimpin. Hanya saja Wahab Lombok Calon Kepala Desa (cakades) di Pantai Senggigi.
Wahab Lombok menuturkan, majunya dia sebagai Cakades karena desakan masyarakat yang memintanya sebagai pemimpin. “Sebenarnya sangat berat saya meng-aminkan permintaan masyarakat desa, hal ini mengingat kondisi keuangan keluarga saya hanya di topang dari penghasilan nelayan. Saya sudah tiga kali menolak permintaan masyarakat, namun karena terus di desak akhirnya saya mengikuti,” kata Wahab Lombok.
Tentu saja majunya Wahab Lombok yang sama sekali tidak memerlukan perahu (partai) untuk maju sebagai Cakades, sehingga tidak memrlukan tim sukses yang sangat memerlukan dana (uang) besar utnuk memenangkan pemilihan. “Kalau pakai uang saya darimana pak,” tuturnya.
Wahab Lombok berujar, karena permintaan masyarakat desa dia pun maju tanpa memggunakan dana sepeser pun. “Kalau saya terpilih, tentu saya lebih berjuang untuk nelayan karena memang kehidupan masyarakat disini adalah nelayan,” ujarnya seraya menceritakan, kehidupan nelayan di Pantai Senggigi sangat memprihatinkan terutama untuk menopang perekonomian keluarganya.
Dari cerita Wahab Lombok ternyata, sama dengan kehidupan hampir smua nelayan dimanapun, seperti kehiudpan nelayan di daerah pantai Sumatera Utara. Para nelayan hanyalah digunakan sesaat (dimanfaatkan) demi kepentingan baik politis maupun proyek-proyek pantai.
Wisata kuliner
Selain wisata alam dan panorama Lombok , kami juga berwisata kuliner. Dimana salah satu Pelabuhan pada tahun 40-an sampai 80-an, Lombok di kenal dengan Pelabuhan Ampenan.
Ampenan merupakan kota pelabuhan yang lama yang berciri khas arsitektur kuno Mataram. Di kota Mataram (yang sudah menjadi satu kesatuan dengan kota Ampenan dan kota Cakranegara) kita dapat menikmati wisata kuliner, dengan makanan Lombok yang ciri khasnya adalah pedas.
Salah satunya adalah ayam Taliwang, dimana Taliwang nama suatu tempat/kampung, yang awalnya banyak penjual makanan khas Lombok di sekitar daerah tersebut.
Selain ayam taliwang, makanan khas Lombok lainnya adalah plecing kangkung dan ayam plecingan, ayam Julat (ayam yang bumbunya sangat pedas), sambal beberok.
Menu plecing masakan dari kangkung lombok yang diberi / dimasak dengan sambal, ayam plecing (ayam diberi bumbu pedas, didiamkan, dibakar/digoreng, kemudian diberi bumbu pedas lagi).
Tak lengkap makanan tanpa sambal, sambal beberok adalah sambal yang dibuat dari irisan terong ungu, kacang panjang, irisan bawang merah, irisan tomat dan cabe, disajikan bersama makanan khas Lombok lainnya. Minuman khas adalah kelapa madu, terdiri dari air kepala muda, dan kelapa mudanya disuwir-suwir serta diberi madu.
Cakranegara
Cakranegara yang terletak ditengah kota Mataram merupakan kota bisnis, ada pasar pertanian, pasar burung, dan mata air Mayura serta Pura Meru (Pura terbesar di Lombok ).
Cakranegara, konon dulunya merupakan bekas kerajaan, namun bekas kerajaan (situs) sudah tidak bisa dikenali tremakan usia. Makanan khas Cakranegara adalah kaki ayam goreng, telur asin, dodol buah dan berbagai manisan dari rumput laut.
Selain tempat-tempat tersebut di atas, masih banyak tempat wisata lainnya, namun karena waktu kami yang tidak memungkinkan untuk memperpanjang wisata kagetan ini, pantai Batu Bolong, pantai Sire, pantai Kuta Lombok di Tanjung Aan di Lombok Tengah terlewatkan. Mungkin lain waktu kami akan telusuri. Siapa yang mau ikutan?
Mengenai Saya
Visitors
Kalender
Me
Senin, 03 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar